Adanya partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan sosialisasi peraturan turunan UPTD PPA dan DBK yang dimandatkan UU TPKS untuk memastikan pembentukan peraturan turunan yang dilandaskan riset dan kebutuhan masyarakat di lapangan, serta adanya pengarusutamaan yang lebih luas.
Pada tahun 2022, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 (UU TPKS) tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual disahkan oleh pemerintah Indonesia, dan menjadi
terobosan yang dapat dijadikan acuan untuk mendorong pencegahan, perlindungan,
penanganan, dan pemulihan tindak pidana kekerasan seksual. Pengesahan UU TPKS
ini tidak dapat dipisahkan dari upaya masyarakat sipil yang telah berlangsung bertahuntahun dalam mengawal penyusunan, pembahasan, dan pengesahannya pada 2022.
Pasca pengesahannya pun, masyarakat sipil tetap berupaya untuk mengawal
implementasi dari peraturan ini.
UU TPKS memandatkan pembentukan 10 peraturan turunan terkait mekanisme
pemulihan korban TPKS dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
Dari 10 peraturan turunan tersebut, Pemerintah Indonesia diwajibkan untuk menyusun
dan mengesahkan Peraturan Pemerintah terkait DBK dan Peraturan Presiden terkait
UPTD PPA paling lambat pada tahun 2024.
Proposal ini mendorong adanya penyusunan peraturan turunan tentang UPTD PPA dan
DBK sesuai yang diamanatkan UU TPKS dengan meningkatkan akses untuk partisipasi
bermakna dari masyarakat sipil. Partisipasi masyarakat pada tahap ini penting untuk
memastikan apa yang diatur dalam peraturan turunan ini sesuai dengan kebutuhan
masyarakat di lapangan dan didukung oleh basis data yang kuat. Selain itu, partisipasi
masyarakat sipil dalam kegiatan sosialisasi juga penting, karena pengarusutamaan dan
penjangkauan dapat dilakukan dengan lebih luas sekaligus mendalam dan bermakna
ketika jaringan masyarakat sipil dimanfaatkan.
Sejauh ini, INFID dan IJRS (selaku institusi pengusul proposal) telah aktif berkontribusi
dalam memberikan masukan dan terlibat dalam diskusi bersama pemerintah untuk
mendorong isu ini, bahkan sebelum pengesahan UU TPKS. Kedua organisasi pengusul
telah melakukan berbagai riset berkaitan dengan isu ini, dan sedang menyusun Policy
Paper terkait saran operasionalisasi dan implementasi UU TPKS yang diharapkan akan
memberi basis bukti yang kredibel untuk menyusun peraturan turunan yang disebutkan
sebelumnya. Mendorongnya melalui platform OGI akan memastikan ada kerja sama
bermakna antar pemerintah dan masyarakat sipil dengan proses ko-kreasi, serta
memas
1. Adanya kajian dan regulasi teknis tentang UPTD PPA sebagai standar dan acuan
dalam pembentukan mekanisme akses UPTD PPA di tingkat lokal, regional, dan
nasional. Adanya standarisasi, pengarusutamaan, dan praktik UPTD PPA yang baik
dapat meningkatkan tersedianya akses layanan yang penting bagi KKS, seperti
layanan pengaduan, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan
pendampingan korban. Selain itu, UPTD PPA juga memiliki peran penjangkauan
korban, yang menjadi penting mengingat banyak KKS masih belum mengetahui
tentang kekerasan seksual dan layanan pemulihan yang tersedia.
2. Adanya kajian dan regulasi teknis terhadap DBK sesuai yang dicantumkan dalam UU
TPKS dapat memastikan adanya alternatif pemulihan bagi korban yang lebih tepat sasaran dan sesuai kebutuhan. Adanya mekanisme pemulihan yang baik bagi
korban kekerasan seksual dapat mendorong adanya penanganan kekerasan seksual
yang punitif kepada pelaku namun juga memperhatikan kondisi dan kebutuhan
korban agar dapat pulih dari kekerasan yang dialaminya. Selain itu, adanya
mekanisme pemulihan yang tepat sasaran dapat menjadi salah satu pendorong bagi
keinginan korban untuk melapor dan memproses kekerasan seksual yang dialaminya
melalui proses hukum.
Komitmen ini berupaya memperkuat mekanisme pemulihan dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”), untuk meningkatkan akses pelaporan
dan pelayanan pemulihan bagi korban kekerasan seksual (“KKS”). Di Indonesia,
kekerasan berbasis gender yang tercatat masih tinggi. Menurut Sistem Informasi Online
Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) per Juli 2022, tercatat 25.210
kasus kekerasan dan 21.753 korbannya adalah perempuan. Selain itu, berdasarkan
data selama lima tahun terakhir dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional
Perempuan, bentuk kekerasan yang sering dialami perempuan adalah kekerasan psikis
(36%), kekerasan seksual (33%), disusul kekerasan fisik (18%) dan kekerasan ekonomi
(13%) (Komnas Perempuan, 2022).
Dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat, sebagian
besar KKS tidak melaporkan kasus mereka. Dilansir dari penelitian yang dilakukan oleh
INFID dan IJRS pada tahun 2020, salah satu alasan utama korban tidak melaporkan
kekerasan yang terjadi adalah karena mereka tidak tahu melapor ke mana (IJRS, 2021).
Sekalipun mereka mengetahui bisa melapor ke mana, juga ada KKS yang kesulitan
mengakses layanan, baik karena masalah jarak layanan yang jauh, layanan pengaduan
online yang tidak serta merta memberikan jawaban, maupun kecenderungan
masyarakat untuk memberdayakan sistem informal di beberapa konteks daerah
(Desyana dkk., 2022, p.62).
Selain dari masalah akses pelaporan, penanganan kasus kekerasan seksual juga masih
cenderung belum fokus terhadap pemulihan korban. Hal ini dipengaruhi oleh masih
adanya stigma negatif dan diskriminasi dari Aparat Penegak Hukum (“APH”) (Desyana
dkk., 2022, p.188), serta proses penanganan masih lebih sering menitikberatkan
penghukuman bagi pelaku daripada kepentingan korban. Fakta ini ditunjukkan antara
lain dari hasil riset IJRS, yang menemukan bahwa hanya 0,1% putusan mengakomodir
pemulihan dalam bentuk restitusi bagi korban (Budiarti dkk., 2022, p.120).
Komitmen ini berupaya untuk menjadi bagian dari solusi bagi kurangnya akses KKS ke
pelayanan pemulihan dan penanganan kasus yang berkualitas, sesuai mandat UU
TPKS. Secara spesifik, proposal ini mendorong partisipasi publik dalam proses
penyusunan dan pengarusutamaan peraturan turunan tentang Dana Bantuan Korban
(“DBK”) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (“UPTD
PPA”) yang dimandatkan UU TPKS.
Akar permasalahan kekerasan seksual adalah budaya patriarki. Budaya ini
mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap perempuan dengan memposisikan
kepentingan laki-laki secara lebih tinggi dan meletakkan perempuan dalam posisi lemah
dan ‘tidak berdaya’. Adanya persepsi ini menyebabkan adanya diskriminasi terhadap
KKS, terutama perempuan, saat mengalami kekerasan seksual. Sebaliknya, kekerasan
seksual yang dilakukan laki-laki sering dijustifikasi sebagai sesuatu yang lazim terjadi
akibat pemosisian kepentingan dan peran laki-laki sebagai lebih ‘superior’.
Masalah pelaporan mulai dari pemahaman rendah masyarakat terkait kekerasan
seksual dan kesehatan reproduksi, ketidaktahuan korban harus melapor kemana,
hingga adanya persepsi negatif dari masyarakat dan tekanan sosial sehingga korban
enggan melaporkan kasus. Sekalipun masyarakat tahu ada layanan yang dapat
diakses, masyarakat terkadang kesulitan mengakses layanan. Di beberapa wilayah
Indonesia, jarak layanan dan topografi wilayah menjadi kendala bagi korban untuk
memperoleh akses dengan cepat (Desyana dkk., 2022, p.62). Selain itu, beberapa
daerah masih belum memiliki UPTD PPA, yang sebenarnya menyediakan berbagai
layanan penting bagi korban.
Untuk masalah penanganan kasus kekerasan seksual, masih ada pandangan
masyarakat bahwa penanganan tidak perlu dilakukan melalui proses hukum, atau
bahwa kasus kekerasan seksual tidak serius karena anggapan ‘suka sama suka’. Selain
itu, masih ada kecenderungan dari APH untuk tidak berempati dengan KKS,
mengabaikan dampak kekerasan seksual dan pemulihan bagi korban, dan fokus
terhadap pemidanaan terhadap pelaku (Budiarti dkk., 2022, p.57).
N/A/p>
N/A
Komitmen ini mendorong keterlibatan aktif dari masyarakat sipil dalam proses penyusunan peraturan turunan UU TPKS terkait DBK dan UPTD PPA serta pengarusutamaannya. Dengan keterlibatan masyarakat sipil dalam proses ini, masyarakat juga sekaligus berpartisipasi dalam mendefinisikan, mengimplementasikan, dan memonitor implementasi dari salah satu solusi yang dimandatkan melalui UU TPKS untuk KKS.
Perkenalan OGI dan Pembahasan Komitmen No. 14 RAN OGI VII Tahun 2023-2024 di KPPPA https://drive.bappenas.go.id/owncloud/index.php/s/ttR3h1zGoMxWyHr
sekretariat.ogi@bappenas.go.id
+6221-3148-551 ext. 3504
Ukuran Keberhasilan 2023-2024 | Status | Evidence |
---|---|---|
(K/L) UK 1 : Tersedianya peraturan turunan terkait Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai peraturan turunan dari UU TPKS yang disusun dengan pelibatan masyarakat sipil | Lihat | |
(OMS) UK 1 : Tersedianya peraturan turunan terkait Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai peraturan turunan dari UU TPKS yang disusun dengan pelibatan masyarakat sipil | Lihat | |
(K/L) UK 2 : Terlaksananya perbaikan tata kelola UPTD PPA serta perluasan cakupan dan penerima manfaat UPTD PPA | Lihat | |
(OMS) UK 2 : Terlaksananya perbaikan tata kelola UPTD PPA serta perluasan cakupan dan penerima manfaat UPTD PPA | Lihat | |
(K/L) UK 3 : Tersedianya peraturan turunan terkait Dana Bantuan Korban (DBK) sebagai peraturan turunan dari UU TPKS | Lihat | |
(OMS) UK 3 : Tersedianya peraturan turunan terkait Dana Bantuan Korban (DBK) sebagai peraturan turunan dari UU TPKS | Lihat |