Komitmen ini mendorong partisipasi publik dalam memetakan kebutuhan hukum kelompok rentan, memberi masukan untuk revisi UU Bantuan Hukum, dan penguatan kapasitas bagi Pemberi Bantuan Hukum (PBH) untuk memberi layanan bagi kelompok rentan.
Pada OGI periode 2020-2022 lalu, Koalisi Masyarakat Sipil berhasil bersama BPHN berhasil menyusun dan menerbitkan Permenkumham 4/2021 tentang Standar Layanan Bantuan Hukum. Permenkumham 4/2021 ini turut mencantumkan bahwa pemberi bantuan hukum berkewajiban untuk melakukan assessment kondisi kerentanan dan kebutuhan hukum Penerima Bantuan Hukum terkait permasalahan yang dihadapi. Hal ini secara tidak langsung merujuk bahwa terdapat penerima bantuan hukum kelompok rentan yang perlu untuk diperhatikan. Pada Tahun 2019, organisasi masyarakat sipil melaksanakan Konferensi Bantuan Hukum antara CSO dengan Pemerintah yang di dalamnya terdapat banyak rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti terkait kelompok rentan. Dalam prosesnya, peningkatan kapasitas terhadap pemberi bantuan hukum dalam mendampingi kelompok rentan juga terus dilakukan.
Adanya cakupan kelompok rentan dalam UU Bantuan Hukum dapat mendukung kerjakerja pemberi bantuan hukum dalam memastikan akses keadilan kelompok rentan dapat dicapai. Selain itu, dengan tercakupnya kelompok rentan dalam Standar Layanan Bantuan Hukum juga dapat memastikan bantuan hukum diberikan secara berkualitas dan sesuai dengan kondisi maupun kebutuhan kelompok rentan. Sehingga adanya jaminan-jaminan ini dapat dijadikan acuan bagi pemberi bantuan hukum untuk dapat meningkatkan kapasitas pemberi bantuan hukum dalam mendampingi kelompok rentan. Sehingga, informasi terkait kebutuhan hukum bagi kelompok rentan diperlukan untuk memastikan cakupan kelompok rentan sesuai dengan yang benar-benar dibutuhkan dan sesuai kondisi kelompok rentan.
Melalui adanya upaya mengkaji kebutuhan hukum kelompok rentan dalam komitmen ini diharapkan dapat diperoleh informasi yang komprehensif dan sesuai dengan kondisi riil dari kelompok rentan. Adanya kajian ini dapat dijadikan acuan untuk memastikan cakupan kelompok rentan dalam upaya merevisi UU Bantuan Hukum dan pembuatan panduan Standar Operasional Layanan Bantuan Hukum. Sehingga dapat dilakukan peningkatan kapasitas terhadap pemberi bantuan hukum dalam mendampingi kelompok rentan sesuai yang tercakup dalam UU maupun Standar Layanan Bantuan Hukum.
Pemberian bantuan hukum di Indonesia diatur dalam UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Namun, dalam UU tersebut cakupan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma hanya dapat diberikan kepada kelompok miskin. Padahal kelompok rentan juga memiliki kebutuhan secara khusus terhadap bantuan hukum. Sementara itu, dalam Permenkumham 4/2021 tentang Standar Layanan Bantuan Hukum dicantumkan bahwa pemberi bantuan hukum berkewajiban untuk melakukan assessment kondisi kerentanan dan kebutuhan hukum Penerima Bantuan Hukum terkait permasalahan yang dihadapi. Namun, kategori kelompok rentan seperti apa yang dapat juga dicakup dalam pemberian bantuan hukum masih belum dijelaskan termasuk dalam UU maupun Permenkumham tersebut. Tidak adanya definisi yang jelas ini kemudian berimplikasi pada minimnya data-data hukum terpilah terkait kelompok rentan. Pemilahan data hukum tersebut cenderung hanya sebatas kepada jenis kelamin dan usia–yang hanya dapat menggambarkan kondisi kelompok rentan yaitu perempuan dan anak (Sidbankum). Padahal jika merujuk ke berbagai peraturan tentang kelompok rentan, yang dapat termasuk kelompok rentan itu dapat mencakup penyandang disabilitas, minoritas seksual, lansia, masyarakat adat dan sebagainya. Tidak adanya data-data kebutuhan hukum terkait kelompok rentan ini menyebabkan kebijakan dan regulasi yang ada tidak secara komprehensif mengatur pemenuhan kebutuhan dan penanganan terhadap kondisi-kondisi khusus yang dimiliki oleh kelompok rentan khususnya ketika berhadapan dengan hukum. Oleh karenanya, diperlukan adanya langkah-langkah penguatan bantuan hukum untuk kelompok rentan.
Potensi kelompok minoritas dan rentan mengalami risiko seperti diskriminasi, stigmatisasi, kekerasan, ataupun kriminalisasi yang cenderung lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok mayoritas (PSHK, 2021). Apalagi, ketika berhadapan dengan hukum, kelompok rentan seperti perempuan, disabilitas dan sebagainya kerap mengalami diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil dari aparat penegak hukum, seringkali disalahkan, memperoleh pertanyaan atau pernyataan yang menyudutkan dan melecehkan yang berdampak pada timbulnya rasa takut dan trauma, hingga sulitnya memperoleh bukti beberapa kasus seperti kekerasan seksual yang menyebabkan proses hukum menjadi rumit dan membutuhkan waktu penanganan yang relatif lama (Ashila, dkk., 2019, p.3). Adanya kondisi ini menunjukkan bahwa penting bagi kelompok rentan untuk memperoleh bantuan hukum sesuai kebutuhannya. Terlebih lagi, dalam hasil indeksasi putusan yang dilakukan oleh IJRS ditemukan bahwa hanya 8,7% perempuan korban kekerasan seksual (yang merupakan kelompok rentan) yang didampingi pendamping/penasihat hukum ketika berada dalam persidangan (Budiarti, dkk., 2022). Berdasarkan berbagai hambatan dan permasalahan yang dialami kelompok rentan, hingga saat ini masih belum ada kajian yang melihat secara spesifik, kelompok rentan mana yang dapat tercakup untuk memperoleh perlindungan hukum cuma-cuma, apa kebutuhan hukum kelompok rentan tersebut hingga kebutuhankebutuhan khusus lainnya. Sehingga dalam UU dan peraturan yang berhubungan dengan kelompok rentan masih cenderung untuk belum seragam dan belum spesifik.
N/A
N/A
Adanya kajian dan reformasi kebijakan bantuan hukum bagi kelompok rentan ini juga sekaligus menjadi implementasi dari prinsip partisipatif dan inklusif. Dengan memastikan seluruh kelompok rentan dijamin hak atas bantuan hukumnya, merupakan bentuk upaya pencapaian asas partisipatif, representatif dan inklusivitas dalam pemberian layanan bantuan hukum di Indonesia.
sekretariat.ogi@bappenas.go.id
+6221-3148-551 ext. 3504
Ukuran Keberhasilan 2023-2024 | Status | Evidence |
---|---|---|
(K/L) UK 1 : Adanya keterlibatan masyarakat sipil dalam pemetaan kebutuhan hukum kelompok retan sebagai masukan untuk Rancangan UU Bantuan Hukum (RUU Bankum) | Lihat | |
(K/L) UK 1 : Adanya keterlibatan masyarakat sipil dalam pemetaan kebutuhan hukum kelompok retan sebagai masukan untuk Rancangan UU Bantuan Hukum (RUU Bankum) | Lihat | |
(K/L) UK 2 : Adanya penguatan kapasitas pemberi bantuan hukum (PBH) untuk kelompok rentan | Lihat | |
(OMS) UK 2 : Adanya penguatan kapasitas pemberi bantuan hukum (PBH) untuk kelompok rentan | Lihat | |
(K/L) UK 1 : Tersedianya peraturan turunan terkait Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai peraturan turunan dari UU TPKS yang disusun dengan pelibatan masyarakat sipil | Lihat |